Chicken soup for soul ebook
Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan. Senin, Selasa, Rabu, Kamis Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah Susan merasa sepuas itu.
Dia berhasil! Dia mampu berangkat kerja tanpa dikawal. Pada hari Jumat pagi, seperti biasa Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata, "Wah, aku iri padamu. Dengan pena- saran, dia bertanya kepada sopir itu, "Kenapa kau bilang kau iri padaku? Sekali lagi dia bertanya, "Apa maksudmu?
Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia meng- awasimu terus sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ciuman, memberi hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita yang beruntung," kata sopir itu.
Karena mes- kipun secara fisik tidak dapat melihat Mark, dia selalu bisa merasakan kehadirannya. Dia beruntung, sangat beruntung, karena Mark memberinya hadiah yang jauh lebih berharga daripada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya de- ngan matanya untuk meyakinkan diri—hadiah cinta yang bisa menjadi penerang di mana pun ada kegelapan.
Hari itu tak ada bedanya dengan hari-hari lain di kamp konsentrasi Nazi. Aku berdiri meng- gigil dalam pakaian compang-camping yang tipis, masih tak percaya bahwa mimpi buruk ini benar-benar terjadi. Aku hanya seorang anak laki-laki. Seharusnya aku bermain- main bersama kawan-kawanku; seharusnya aku pergi ke sekolah; seharusnya aku bersemangat menyongsong masa depanku, ketika aku akan menjadi dewasa, menikah, dan membangun keluargaku sendiri.
Tetapi, semua impian itu hanya pantas untuk mereka yang masih hidup, dan aku bukan lagi salah satu dari mereka. Aku nyaris mati, men- coba bertahan hidup dari hari ke hari, dari jam ke jam, sejak aku diseret dari rumahku dan dibawa ke sini bersama puluhan ribu orang Yahudi lainnya. Apakah besok aku masih hidup? Apakah malam ini aku akan dibawa ke kamar gas?
Aku berjalan mondar-mandir di dekat pagar kawat ber- duri, mencoba menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku selalu kelaparan.
Makanan yang layak sepertinya hanya ada dalam mimpi. Setiap hari semakin banyak di antara kami menghilang begitu saja, masa lalu yang bahagia tampak semakin samar. Aku kian tenggelam dalam keputusasaan. Tiba-tiba, aku melihat seorang anak perempuan berjalan di balik pagar kawat berduri.
Anak itu berhenti dan me- mandangku dengan mata sedih, mata yang seakan berkata bahwa dia mengerti, bahwa dia juga tidak bisa menemukan jawab mengapa aku ada di sini. Aku ingin membuang pandang, aku malu dan canggung karena anak perempuan asing itu melihatku dalam keadaan seperti ini. Tetapi, aku tak kuasa mengalihkan mataku dari matanya.
Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebutir apel merah. Apel yang cantik, merah kemilau. Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku melihat apel seranum itu?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat- cepat melemparkan apel itu melewati atas pagar.
Aku lari memungutnya, memeganginya dengan jari-jariku yang ge- metar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh kematian, apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya menghilang di ke- jauhan. Esok harinya, aku tak dapat menahan diri—pada waktu yang sama aku berdiri di tempat yang sama, di dekat pagar. Apakah aku gila mengharapkan dia datang lagi? Tentu saja. Tetapi, di dalam hati aku bergantung pada seiris ha- rapan tipis.
Dia telah memberiku harapan, aku harus ber- gantung erat pada harapan itu. Sekali lagi, dia membawakan se- butir apel untukku, melemparkannya lewat atas pagar sambil tersenyum manis seperti kemarin. Kali ini apel itu kutangkap, lalu kupegang tinggi-tinggi agar dia melihatnya. Matanya berbinar. Apakah dia menga- sihaniku? Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa memandangnya. Dan untuk pertama kalinya sejak se- kian lama, aku merasa hatiku bergetar karena luapan pe- rasaanku.
Tujuh bulan lamanya kami bertemu seperti itu. Kadang- kadang kami bertukar kata. Kadang-kadang, hanya sebutir apel. Tetapi, bukan hanya perutku yang diberinya makanan.
Dia bagaikan malaikat dari surga. Dia memberi makanan untuk jiwaku. Dan entah bagaimana, aku tahu aku juga memberinya makanan. Suatu hari, aku mendengar kabar mengerikan: kami akan dipindahkan ke kamp lain.
Itu bisa berarti kiamat bagiku. Yang jelas, itu merupakan akhir pertemuanku de- ngan kawanku itu. Esok harinya ketika aku menyapanya, dengan hati hancur kukatakan apa yang nyaris tak kuasa kusampaikan, "Besok jangan bawakan aku apel," kataku kepadanya. Kita takkan pernah bertemu lagi. Aku tak sanggup menoleh ke belakang. Kalau aku menoleh, aku tahu dia akan melihatku berdiri canggung sementara air mata mengalir membasahi wajahku. Bulan demi bulan berlalu. Mimpi buruk itu terus berlanjut. Berkali-kali aku melihatnya dengan mata pikiranku; aku melihat wajahnya dan matanya yang lem- but.
Aku mendengar kata-katanya yang lembut dan mencecap manisnya apel-apel itu. Sampai pada suatu hari, mimpi buruk itu tiba-tiba berakhir. Perang sudah selesai. Kami yang masih hidup dibebaskan. Aku telah kehilangan semua milikku yang berharga, termasuk keluargaku. Tetapi aku masih menyim- pan kenangan akan anak perempuan itu, kenangan yang kusimpan dalam hati dan memberiku kemauan untuk meneruskan hidupku setelah aku pindah ke Amerika untuk memulai hidup baru.
Tahun-tahun berlalu. Sampai tahun Saat itu aku tinggal di New York City. Seorang kawan memaksaku melakukan kencan buta dengan seorang wanita kawan- nya. Dengan enggan, aku menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya Roma. Seperti aku, dia juga seorang imigran. Dengan begitu setidak-tidaknya kami punya per- samaan. Mata Roma tampak menerawang, seakan-akan dia ingat sesuatu yang manis namun membuatnya sedih.
Di sana ada seorang anak laki-laki, seorang tahanan. Selama beberapa bulan aku selalu mengunjunginya setiap hari. Aku ingat, aku biasa membawakan apel untuknya. Aku selalu melemparkan apel itu lewat atas pagar. Anak itu senang sekali. Bahkan jika situasi memungkinkan pun kami hanya bertukar be- berapa kata—tetapi aku yakin, waktu itu di antara kami tumbuh cinta yang tulus.
Aku yakin dia pasti dibunuh se- perti yang lain-lain. Tetapi, aku tak sanggup membayangkan itu. Karenanya, aku berusaha mengenangkan dia seperti yang kulihat di bulan-bulan itu, ketika kami sedang ber- sama-sama. Aku akan di- pindahkan ke kamp lain'? Yang ada hanya keheningan. Kami tak dapat mengalihkan mata kami. Lama kami sa- ling memandang. Akhirnya, aku berkata, "Roma, aku pernah dipisahkan darimu. Sekarang aku tidak ingin dipisahkan lagi darimu. Sekarang aku bebas, aku ingin selalu bersamamu, selama- nya.
Sayangku, maukah kau menikah denganku? Sekarang, tak ada lagi yang akan memisahkan kami. Hampir empat puluh tahun telah berlalu sejak aku menemukan Roma-ku lagi. Nasib mempertemukan kami untuk pertama kalinya di masa perang, untuk menunjukkan kepadaku adanya janji harapan. Sekarang, nasib pula yang mempersatukan kami untuk menunaikan janji itu.
Hari Valentine tahun Kuajak Roma ke acara Oprah Winfrey Show untuk menghormatinya di siaran televisi nasional. Di depan jutaan pemirsa, aku ingin me- ngatakan kepadanya apa yang kurasakan dalam hatiku setiap hari: "Kekasihku, kau memberiku makanan di kamp kon- sentrasi ketika aku kelaparan.
Aku akan tetap lapar dan dahaga akan sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup kuperoleh: Aku lapar dan dahaga akan cintamu. Tujuan permainan mereka adalah menulis kata "shmily" di tempat yang secara tak terduga akan ditemukan oleh yang lain.
Mereka bergantian menulis "shmily" di mana saja di dalam rumah. Begitu yang lain menemukannya, maka yang menemukan sekali lagi mendapat giliran menulis kata itu di tempat ter- sembunyi. Dengan jari mereka menorehkan "shmily" di dalam wadah gula atau wadah tepung, untuk ditemukan oleh siapa pun yang mendapat giliran menyiapkan makanan.
Mereka membuatnya dengan embun yang menempel pada jendela yang menghadap ke beranda belakang, tempat nenekku selalu menyuguhkan puding warna biru yang hangat, buatannya sendiri.
Pesan-pesan singkat dengan "shmily" yang ditulis tergesa-gesa bisa ditemukan di dasbor atau jok mobil, atau direkatkan pada kemudi. Catatan-catatan kecil itu diselipkan ke dalam sepatu atau diletakkan di bawah bantal.
Di rumah kakek-nenekku, kata yang misterius itu merupakan sesuatu yang penting, sama pentingnya dengan perabotan. Aku memerlukan waktu lama sekali sebelum benar- benar bisa memahami dan menghargai permainan kakek- nenekku. Sikap skeptis membuatku tidak percaya bahwa cinta sejati itu ada—cinta yang murni mengatasi segala suka dan duka. Meski begitu, aku tak pernah meragukan hubungan kakek-nenekku. Mereka sungguh saling mencintai. Dengan cinta yang lebih mendalam daripada kemesraan yang mereka tunjukkan; cinta adalah cara dan pedoman hidup mereka.
Hubungan mereka didasarkan pada pengabdian dan kasih yang tulus, yang tidak semua orang cukup beruntung untuk mengalaminya. Kakek dan Nenek selalu bergandengan tangan kapan saja kesempatan memungkinkan. Mereka berciuman sekilas bila bertabrakan di dapur mereka yang mungil. Mereka saling menyelesaikan kalimat pasangannya. Setiap hari mereka bersama-sama mengisi teka-teki silang atau per- mainan acak kata.
Nenekku membisikkan kepadaku bahwa kakekku sangat menarik, dan bahwa semakin tua Kakek semakin tampan. Tetapi, dalam kehidupan kakek-nenekku ada satu sisi kelam: nenekku menderita kanker payudara. Penyakit itu pertama kali diketahui sepuluh tahun sebelumnya. Seperti yang selalu dilakukannya, Kakek mendampingi Nenek menjalani setiap tahap pengobatan. Dia menghibur Nenek di kamar kuning mereka, yang sengaja dicat dengan warna itu agar Nenek selalu dikelilingi sinar matahari, bahkan ketika dia terlalu sakit untuk keluar rumah.
Sekali lagi kanker menyerang tubuh Nenek. Dengan bantuan sebatang tongkat dan tangan kakekku yang ku- kuh, mereka tetap pergi ke gereja setiap pagi. Tetapi ne- nekku dengan cepat menjadi lemah sampai, akhirnya, dia tak bisa lagi keluar rumah. Kakek pergi ke gereja sendirian, berdoa agar Tuhan menjaga istrinya.
Sampai pada suatu hari, apa yang kami takutkan terjadi. Nenek meninggal. Setelah para pelayat semakin berkurang dan yang terakhir beranjak pergi, para paman dan bibiku, sepupu-sepupuku, dan anggota keluarga lainnya maju me- ngelilingi Nenek untuk terakhir kali. Kakek melangkah mendekati peti mati nenekku lalu, dengan suara bergetar, dia menyanyi untuk Nenek. Bersama air mata dan kesedihannya, lagu itu dia nyanyikan; lagu ninabobo dalam alunan suara yang dalam dan parau.
Karena pada saat itulah, meskipun aku belum dapat mengukur dalamnya cinta mereka, aku men- dapat kehormatan menjadi saksi keindahannya yang abadi. Lihat, betapa aku mencintaimu. Terima kasih, Kakek dan Nenek, karena telah meng- izinkan aku melihatnya. Peribahasa Norwegia Sebut saja dia Ian. Bukan namanya yang sebenarnya— karena hari-hari ini di Irlandia Utara kita harus hati-hati menyebut nama seseorang.
Lebih dari dua ribu empat ratus pembunuhan gara-gara perbedaan agama telah terjadi sejak permusuhan lama antara penganut Katolik dan Protestan meledak lagi akhir-akhir ini.
Jadi, tak masuk akal kalau kita menantang bahaya. Dan Ian yang baru berumur dua puluh empat tahun itu sudah cukup menderita. Dia berasal dari keluarga Protestan yang saleh, yang pergi ke gereja dua kali setiap hari Minggu. Hidup mereka sangat teratur seperti putaran jarum jam. Ayahnya, tukang las di galangan kapal Belfast, sangat saleh seperti para moyangnya.
Ian punya dua kakak laki-laki, mereka buruh yang menganggur. Ian pandai di sekolah dan sekarang mendapat upah lumayan sebagai tenaga perajin di sebuah pabrik. Pemuda itu pendiam, serius, suka berjalan-jalan di pedesaan di malam yang sejuk atau di akhir pekan yang cerah di musim panas.
Yang paling disukainya adalah membaca buku di depan perapian yang menebarkan kehangatan di musim dingin yang panjang dan sepi. Dia belum pernah pacaran— meskipun di Irlandia kaum lelaki cenderung terlambat menikah.
Dua tahun lalu, pada hari ulang tahunnya yang kedua puluh dua, dia sedang berjalan pulang dari tempat kerjanya ketika seorang teroris melemparkan bom dari mobil yang melaju kencang Dia dilarikan ke rumah sakit, langsung dioperasi karena luka di bagian dalam tubuh dan tulang-tulangnya patah.
Tetapi kedua matanya terlanjur rusak. Luka-lukanya yang lain akhirnya sembuh, meskipun bekasnya membuat tubuhnya cacat seumur hidup. Tetapi carut luka dalam jiwanya, meskipun tak kasat mata, justru lebih nyata bekasnya. Dia nyaris tak pernah bicara, nyaris tak pernah makan atau minum, nyaris tak pernah tidur.
Dia hanya berbaring di ranjang, murung dan tak bisa melihat apa-apa. Hampir empat bulan lamanya. Ada seorang perawat yang tampaknya bisa memantik sepercik reaksi manusiawi darinya.
Dari keluarga Katolik yang saleh, yang selalu ikut Misa pertama setiap Minggu pagi. Ayah Bridget, tukang kayu, lebih sering tidak ada di rumah karena bekerja jauh di Inggris. Dia pria baik-baik yang mencintai keluarganya dan menghabiskan akhir pe- kan bersama mereka setiap kali dia bisa menyisihkan uang untuk ongkos pulang. Keluarganya mencintainya sebagai seorang ayah yang jarang ada di rumah.
Ibunya mengurus rumah yang tidak rapi tapi bersih, memasak sup Irlandia yang paling lezat di lingkungan tempat tinggal mereka, dan mengatur keluarga itu dengan tangan cekatan dan hati lembut. Bridget punya enam saudara laki-laki dan empat saudara perempuan—yang paling muda di antara mereka, Mary, sebelas, adalah kesayangan ayahnya.
Bridget cukup pandai di sekolah, mendapat pendidikan sebagai perawat di sebuah rumah sakit terkenal di London, dan sekarang, pada usia dua puluh satu, bekerja sebagai perawat di rumah sakit terbesar di Belfast. Dia lincah, meskipun pada dasarnya berwatak serius. Suaranya lembut, merdu, dan mempunyai gaya khas bila menyanyikan lagu-lagu rakyat. Bridget belum punya pa- car—meskipun banyak pemuda yang menaruh hati pada- nya.
Tetapi sekarang hatinya tersentuh melihat Ian, karena dalam diri pemuda malang itu dia melihat sosok bocah kecil yang tak berdaya, yang membuatnya menitikkan air mata.
Benar, Ian tak dapat melihat air matanya, tetapi Bridget khawatir kalau-kalau suaranya tak bisa menyamar- kan emosinya. Dengan suara hangat, lembut, dan teguh, Bridget meyakinkan Ian akan cinta Yesus Kristus. Maka, ketika hari-harinya yang panjang dan gelap mengumpul menjadi minggu dan bulan, Ian akan menyimak detak langkah Bridget dan menelengkan wajahnya yang tak bisa melihat ke arah datangnya gadis itu, seperti bunga yang menelung ke arah matahari.
Pada akhir empat bulan masa perawatannya di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa kebutaannya takkan da- pat disembuhkan. Tetapi, apa yang kemudian diketahuinya sebagai cinta mereka, memberinya kekuatan untuk mene- rima nasib buruknya. Karena, meskipun semua menentang hubungan mereka—agama, politik, dan keluarga mereka— mereka saling mencintai dan jiwa mereka bersama men- jelajahi dunia yang muda dan penuh nyanyian riang.
Ian keluar dari rumah sakit dan mulai menjalani bulan- bulan panjang yang melelahkan untuk memulihkan ke- mampuannya: belajar mandi, bercukur, dan berpakaian tanpa bantuan, belajar bergerak leluasa di dalam rumah tanpa membentur kursi, belajar menyusuri jalan-jalan de- ngan tongkat putih, belajar membaca Braille, belajar mengatasi rasa iba yang dapat dirasakannya menggantung di udara yang dihirupnya. Cinta mereka memberinya ha- rapan untuk bertahan hidup dan terus berusaha.
Mereka tidak punya banyak kesempatan untuk bersama- sama: sesekali berkencan di malam hari, atau berjalan-jalan di sore hari setelah Bridget selesai bertugas. Keluarga mereka terheran-heran. Mereka berencana untuk menikah? Bahkan hukum Tuhan pun mengharamkan pernikahan mereka.
Lama-lama mereka pun bertengkar dan saling mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati karena keputusasaan mereka. Dan pada suatu malam, ketika hujan turun rintik-rintik dan hati mereka menjadi beku, Bridget pergi meninggalkan Ian, menjauh menyusuri jalanan yang basah.
Ian mengurung diri dalam kekelaman dunianya. Hari demi hari dan minggu demi minggu dilaluinya dengan perasaan pahit. Minggu demi minggu dan bulan demi bulan dilaluinya dalam kesedihan yang menumpulkan perasaannya. Pemboman masih merajalela, membuat tanah Irlandia tercabik-cabik. Kemudian, pada suatu malam, ketika Ian sedang duduk sendirian di rumah, terdengar pintu digedor dengan gugup. Dia ter- perangkap, nyaris mati! Dia menjerit-jerit memanggilmu. Ayo, Ian! Demi Tuhan, datanglah ke sana!
Gadis itu membimbingnya sambil berlari tersandung-sandung di jalanan yang kacau dan bergolak. Ledakan bom menghancurkan restoran kecil tempat Bridget makan malam bersama tiga perawat lain. Want more? Advanced embedding details, examples, and help! Reviewer: ELTtech - favorite favorite favorite favorite favorite - January 21, Subject: Rekindle your spirit a open your heart Incredible reading!
Inspirational stories which teach you love, learning, relationships, and the like. Being a better human and causing a positive impact on yourself then around you. Unleash the best in you with these wonderful stories. Learn more here. You've reached the maximum number of titles you can currently recommend for purchase. Your session has expired. Please sign in again so you can continue to borrow titles and access your Loans, Wish list, and Holds pages.
If you're still having trouble, follow these steps to sign in. Add a library card to your account to borrow titles, place holds, and add titles to your wish list. Have a card?
Add it now to start borrowing from the collection. The library card you previously added can't be used to complete this action. Please add your card again, or add a different card. If you receive an error message, please contact your library for help. Error loading page.
0コメント